Berita ViralPolitik

Kala Bambu Jadi Biang Kerok Hilangnya Ribuan Hunian di Hong Kong

sebuah tradisi panjang di Hong Kong — kini menjadi sorotan tajam setelah kebakaran besar di Wang Fuk Court, komplek perumahan vertikal di distrik Tai Po. Bambu selama puluhan tahun dijadikan kerangka scaffolding di banyak proyek konstruksi dan renovasi karena sifatnya ringan, fleksibel, dan bisa dipasang dengan cepat — keunggulan yang sulit ditandingi besi/logam di lingkungan padat dan sempit seperti Hong Kong.
Menurut data resmi, ada sekitar 2.500 ahli perancah bambu terdaftar di Hong Kong hingga awal 2025.

Namun, di balik fleksibilitas dan tradisi itu, muncul risiko serius: bambu rentan terbakar dan mekaniknya bisa melemah selama waktu, terutama jika dipadukan dengan bahan tambahan yang tidak sesuai standar.


Pada Rabu, 26 November 2025, kebakaran besar melanda Wang Fuk Court. Gedung ini terdiri dari 8 tower — tiap tower 31 lantai — dengan total 1.984 unit hunian yang menampung ribuan orang. Kompleks ini sedang direnovasi, dan seluruh bangunan ditutupi perancah bambu serta jaring hijau pengaman.

Sekitar satu minggu sebelum kejadian, otoritas pekerja (Departemen Tenaga Kerja Hong Kong) telah melakukan pemeriksaan sebanyak 16 kali sejak renovasi dimulai pada Juli 2024. Masyarakat bahkan sudah menyampaikan keluhan tentang potensi bahaya pada September 2024 — namun kontraktor menyatakan semua sudah sesuai prosedur.

Saat api meletus, faktor pemicu dan penyebaran meliputi:

  • Perancah bambu dan jaring hijau yang mudah terbakar.
  • Kemungkinan penggunaan bahan tambahan berbahaya, seperti foam atau netting yang tidak tahan api.
  • Angin kencang yang mempercepat penyebaran api dari satu tower ke tower lain.

Kebakaran berlangsung selama sekitar 27 jam sebelum api berhasil dipadamkan.

Akibatnya, ribuan penghuni kehilangan hunian: tidak hanya karena kerusakan fisik, tetapi juga karena trauma dan potensi risiko keamanan dari sisa struktur. Pemerintah pun disebut akan mengkaji ulang penggunaan perancah bambu.


Insiden di Wang Fuk Court bukanlah pertama kali: catatan resmi menunjukkan bahwa sejak Januari 2018 hingga Agustus 2025, terdapat setidaknya 24 kematian terkait kecelakaan dengan perancah bambu.

Menanggapi hal tersebut, pada Maret 2025 pemerintah Hong Kong — melalui Development Bureau — telah mengumumkan bahwa minimal 50% proyek pembangunan publik baru wajib menggunakan perancah logam. Tujuannya: mengurangi risiko kebakaran, karena logam lebih tahan panas dan kebakaran dibanding bambu.

Meski demikian, sebagian pelaku industri keras menentang perubahan ini. Mereka berargumen bahwa bukan material yang menjadi masalah utama, melainkan kepatuhan terhadap protokol keselamatan. Selain itu, transisi ke scaffolding logam dikhawatirkan akan menggusur pekerja bambu tradisional — dan ikut menghapus warisan budaya konstruksi lama Hong Kong.


Kebakaran di Wang Fuk Court menandai momen krusial bagi Hong Kong: apakah tradisi bambu akan terus dipertahankan — atau digantikan demi keselamatan publik.

Pemerintah dan regulator menghadapi dilema nyata. Di satu sisi, scaffolding bambu adalah bagian dari identitas arsitektural dan budaya kota; di sisi lain, data dan tragedi berulang menunjukkan bahwa risiko kebakaran tidak bisa dianggap enteng.

Beberapa rekomendasi yang muncul dari pengamat dan pakar konstruksi:

  • Memperketat regulasi tentang bahan pelindung (jaring pelindung, netting, foam) — pastikan hanya material tahan api yang dipakai.
  • Bila proyek melibatkan renovasi/height high-rise, gunakan perancah logam yang tahan panas dan lebih stabil.
  • Lakukan inspeksi rutin, audit keselamatan, dan edukasi bagi pekerja serta kontraktor agar mematuhi standar.
  • Carilah alternatif material atau teknik konstruksi modern yang lebih aman, tanpa mengorbankan efisiensi maupun estetika.

Kebakaran di Wang Fuk Court membuka babak baru dalam sejarah pembangunan di Hong Kong — sebuah peringatan keras bahwa tradisi dan efisiensi tidak boleh mengabaikan keselamatan dan nyawa manusia. Penggunaan bambu sebagai scaffolding, yang mungkin dulu dianggap praktis dan kultural, kini harus dievaluasi secara jujur dan kritis.

Perubahan regulasi — misalnya peralihan ke scaffolding logam — bukan sekadar penyesuaian teknis, tetapi juga keputusan moral: menjaga jutaan warga tetap aman. Masa depan konstruksi di Hong Kong bergantung pada bagaimana pelajaran dari tragedi ini ditanggapi — apakah hanya jadi cerita kelam, atau trigger nyata untuk pembenahan total.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *