Alasan Kejari Situbondo Tuntut kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Beritadunia.id , Jawa Timur — Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Negeri Situbondo secara resmi menuntut hukuman 2 tahun penjara terhadap seorang kakek berusia 71 tahun atas kasus penangkapan lima ekor burung Cendet (pentet) dari kawasan Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Tuntutan itu terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Situbondo pada Kamis, 11 Desember 2025 dan kini menjadi sorotan publik luas karena melibatkan pejuang burung di kawasan konservasi yang dilindungi negara.
Kakek tersebut, yang diketahui bernama Masir, merupakan warga Dusun Sekar Putih, Desa Sumberanyar, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Ia dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terkait pelanggaran terhadap aturan perlindungan burung liar di kawasan konservasi hutan.
Kronologi Kasus
Kakek Masir pertama kali menarik perhatian petugas ketika ia tertangkap membawa lima ekor burung Cendet saat akan keluar dari kawasan Taman Nasional Baluran, yang merupakan area konservasi yang dilindungi ketat. Burung Cendet dikenal sebagai salah satu spesies burung kicau yang dilindungi karena populasinya yang semakin menurun akibat perburuan dan perdagangan ilegal.
Menurut jaksa, aksi penangkapan burung ini bukanlah kejadian tunggal. Masir telah beberapa kali kedapatan menangkap burung di kawasan konservasi tersebut, sehingga aparat sebelumnya telah memberikan peringatan dalam upaya restorative justice — yakni penyelesaian kasus secara damai tanpa proses pidana. Namun, setelah 5 kali tertangkap tanpa konsekuensi hukum serius, Masir kembali melakukan perbuatan yang sama hingga akhirnya ditangkap pada tindakan keenamnya dan dibawa ke proses hukum formal.
Karena tindakan pelanggaran tersebut sudah berulang dan tidak menunjukkan adanya perubahan perilaku meskipun telah ditegur, jaksa penuntut umum memutuskan bahwa kasus ini tidak memenuhi syarat untuk penyelesaian melalui restorative justice dan harus diproses sesuai dengan hukum pidana yang berlaku.
Tuntutan dan Pasal yang Digunakan
Dalam dakwaan yang dibacakan di persidangan, JPU menuntut Masir dengan hukuman 2 tahun penjara. Hukuman ini merupakan tuntutan minimal, merujuk pada ketentuan Pasal 40B ayat (2) huruf b jo Pasal 33 ayat (2) huruf g dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal tersebut mengatur sanksi pidana bagi pelaku yang menangkap, memelihara, menyimpan, atau memperjualbelikan satwa liar dilindungi tanpa izin resmi.
Kasi Intel Kejari Situbondo, Huda Hazamal, menyatakan dalam persidangan bahwa jaksa tidak serta-merta menjatuhkan hukuman maksimal yang memungkinkan hingga 10 tahun penjara, namun memilih tuntutan dua tahun sebagai hukuman yang masih sesuai konteks pelanggaran yang dilakukan.
Selain pidana penjara, jaksa juga kemungkinan akan meminta denda tambahan sesuai aturan hukum yang berlaku, meskipun rincian angka dendanya baru akan dibahas dalam proses persidangan selanjutnya.
Restorative Justice Tidak Diterapkan
Salah satu poin penting yang disampaikan jaksa adalah keengganan untuk menerapkan restorative justice pada kasus ini. Restorative justice merupakan pendekatan penyelesaian perkara yang menekankan pada pemulihan hubungan antara terdakwa, korban, dan masyarakat, sering digunakan pada pelanggaran ringan atau pertama kali.
Namun dalam kasus Masir, aparat konservasi dan Jaksa Kejari Situbondo menilai pendekatan tersebut tidak tepat digunakan karena terdakwa sudah beberapa kali menunjukkan perilaku yang sama setelah ditegur dan diperingatkan sebelumnya. Hal ini dinilai melampaui batas toleransi penegakan hukum konservasi yang berlaku di kawasan Taman Nasional Baluran.
Huda menjelaskan bahwa karena tindakan Masir sudah berulang dan menunjukkan pola pelanggaran meskipun telah diperhatikan secara informal, maka restorative justice — yang biasanya tidak memerlukan penanganan pidana — tidak bisa diaplikasikan. Oleh karena itu, proses hukum formal pun dilanjutkan sampai sidang tuntutan.
Reaksi Publik dan Kontroversi
Kasus ini menarik perhatian publik dan memicu diskusi di kalangan masyarakat, terutama kaum pecinta satwa dan advokat lingkungan hidup. Beberapa pihak menilai tuntutan terhadap Masir terlalu keras mengingat usianya yang sudah lanjut serta latar belakang ekonomi yang kurang beruntung. Sebagian warga dan netizen bahkan menyayangkan hukuman penjara yang dijatuhkan kepada lansia yang mungkin melakukan perbuatan itu untuk mencari nafkah.
Sementara itu, pihak lain mendukung langkah Kejari Situbondo dengan berpendapat bahwa penegakan hukum terhadap pelanggaran kawasan konservasi harus dilakukan secara tegas demi melindungi satwa liar dan menjaga keberlanjutan ekosistem. Mereka menekankan bahwa hukum harus berlaku sama bagi siapa pun yang melanggar, tanpa terkecuali.
Pengamat hukum konservasi yang diwawancarai media lokal menyatakan bahwa kasus seperti ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum: antara perlindungan lingkungan dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi pelaku. Namun, menurutnya penegakan aturan tetap menjadi prioritas ketika menyangkut kawasan konservasi negara.
Persidangan Lanjutan dan Proses Hukum
Sidang pada Kamis lalu memasuki agenda pembacaan tuntutan dari JPU. Agenda berikutnya adalah replik — tanggapan jaksa terhadap pembelaan yang diajukan tim kuasa hukum Masir — dan kemudian duplik, yaitu jawaban terdakwa terhadap replik jaksa. Sidang-sidang ini direncanakan bergulir dalam minggu-minggu berikutnya di Pengadilan Negeri Situbondo.
Kuasa hukum Masir telah menyampaikan pembelaan atau pledoi, di mana mereka kemungkinan akan menyoroti beberapa hal seperti usia lanjut terdakwa, latar belakang sosial-ekonomi, serta argumen hukum lain yang mungkin meringankan hukuman. Namun, jaksa penuntut telah menegaskan posisi hukum mereka bahwa standar restorative justice tidak bisa lagi diterapkan karena pelanggaran yang berulang.
Penegakan Hukum di Kawasan Konservasi
Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi terpenting di Jawa Timur, terkenal sebagai habitat beragam satwa liar, termasuk burung kicau seperti Cendet. Kawasan ini dilindungi oleh hukum nasional yang ketat demi menjaga kelestarian flora dan fauna endemik, serta memastikan kawasan hijau ini tetap lestari sebagai bagian dari warisan alam Indonesia.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur sanksi pidana bagi siapa pun yang menangkap atau memperjualbelikan satwa liar tanpa izin, termasuk hukuman penjara dan denda. Penegakan aturan ini di kawasan seperti Baluran menjadi ujung tombak dalam melindungi keanekaragaman hayati Indonesia.
Kesimpulan
Kasus kakek Masir yang dituntut 2 tahun penjara oleh Kejari Situbondo menjadi contoh pentingnya penegakan hukum konservasi di Indonesia — terutama ketika menyangkut pelanggaran terhadap kawasan yang dilindungi seperti Taman Nasional Baluran. Keputusan jaksa untuk tidak menerapkan restorative justice dan memilih prosedur pidana formal mencerminkan komitmen aparat hukum dalam menjaga keberlanjutan ekosistem dan memastikan aturan dilaksanakan secara konsisten.
Walaupun mendapat respons beragam dari publik, proses hukum terhadap Masir akan terus berjalan sesuai mekanisme yang berlaku di Pengadilan Negeri Situbondo, dengan agenda sidang yang akan terus berlangsung sampai putusan akhir ditetapkan.

