Hamas Minta Israel Izinkan Anggotanya Keluar dari Terowongan Gaza
Beritadunia.id – Hamas secara terbuka meminta kepada mediator internasional agar menekan Israel agar memberi akses aman bagi puluhan anggotanya yang masih terperangkap di dalam jaringan terowongan bawah tanah di bagian selatan Jalur Gaza. Permintaan ini disampaikan setelah militer Israel menyatakan telah menewaskan cukup banyak anggota Hamas dalam upaya penggerebekan dan pelarian.
Deklarasi tersebut, dirilis Rabu (26/11/2025) dan dikutip oleh AFP, menandai pertama kalinya Hamas secara terbuka mengakui anggota-anggota mereka terjebak dalam sistem terowongan — sebuah pengakuan langka sejak gencatan senjata diberlakukan.
Menurut pernyataan Hamas: “Kami menganggap Israel sepenuhnya bertanggung jawab atas nyawa para pejuang kami dan menyerukan kepada mediator segera menekan Israel agar mengizinkan putra-putra kami pulang.”
Kronologi & Situasi Terowongan: dari “Tersembunyi” ke “Terkepung”
Kompleksitas Terowongan Gaza dan Kronologi Konflik
Menurut laporan media Israel yang dikutip oleh beberapa sumber internasional, selama berminggu-minggu antara 100 sampai 200 militan Hamas disebut masih terjebak dalam jaringan terowongan di bawah kota Rafah, di bagian Gaza selatan — wilayah yang kini berada di bawah kendali militer Israel.
Sejumlah pihak memperkirakan bahwa dari jumlah tersebut, sekitar “60 sampai 80 orang” adalah anggota aktif, terutama dari sayap militer Hamas, Brigade Izzedine al-Qassam.
Hingga saat ini, Hamas belum mau menyerah secara kolektif — mereka mempertahankan posisi bahwa menyerah bukan opsi. “Konsep menyerah tidak ada dalam kamus Brigade Izzedine al-Qassam,” menurut pernyataan resmi kelompok ini.
Klaim Israel & Ketegangan di Lapangan
Sementara itu, militer Israel mengklaim bahwa dalam operasi mereka menemukan lebih dari 20 hingga 30 anggota Hamas tewas saat berusaha melarikan diri dari terowongan dalam satu pekan terakhir.
Pada Sabtu (29/11/2025), militer Israel melaporkan telah menemukan 9 jasad tambahan militan Hamas di dalam jaringan terowongan di Gaza selatan.
Operasi militer ini dilanjutkan di tengah rencana Israel untuk menghancurkan sistem terowongan milik Hamas, yang dianggap sebagai “infrastruktur teror.”
Israel mengklaim bahwa setelah gencatan senjata (yang mulai berlaku 10 Oktober) pasukannya telah mundur dari area pesisir Gaza, mundur ke garis yang disebut “garis kuning” — namun jaringan terowongan di bawah wilayah yang dikuasainya tetap menjadi target operasi pemusnahan.
Upaya Diplomasi & Tuntutan Jalur Aman
Permintaan Hamas untuk jalur aman dikirim kepada negara-negara perantara konflik — termasuk mediator internasional — agar mereka menekan Israel. Ini dimaksudkan agar pasukan terlilit di terowongan bisa keluar tanpa diserang, serta agar memungkinkan perlakuan kemanusiaan terhadap mereka.
Menurut beberapa sumber yang dekat dengan perundingan, utusan dari Amerika Serikat (AS), Steve Witkoff, serta negara mediator lain seperti Mesir, Qatar dan Turki tengah mempertimbangkan opsi jalur aman bagi militan — dengan syarat penyerahan senjata — sebagai bagian dari proses gencatan senjata dan perdamaian jangka panjang.
Namun sampai saat ini, Israel belum menyetujui usulan tersebut secara terbuka. Pemerintah Israel, termasuk pejabat tinggi, menolak memberikan “lisensi aman” untuk militan keluar dari terowongan.
Implikasi dari Permintaan Hamas: Risiko & Lonjakan Ketegangan
Permintaan Hamas ini dapat memperburuk ketegangan antara pihak Gaza dan Israel, karena menyentuh dua hal sensitif: keamanan militer dan aspek kemanusiaan. Jika Israel tetap menolak, maka nasib ratusan pejuang yang terperangkap bisa menjadi isu kemanusiaan besar — terutama jika mereka tetap terkepung tanpa akses aman.
Di sisi lain, jika jalur aman disetujui dan diberikan — meskipun dengan syarat penyerahan senjata — hal ini dapat menjadi ujian bagi komitmen gencatan senjata, dan potensi langkah besar menuju de-eskalasi konflik — asalkan dilakukan dengan pengawasan internasional yang ketat.
Namun — seperti yang ditegaskan oleh Hamas — “kehidupan para pejuang kami sepenuhnya berada di tangan Israel” dan mereka mendesak negara mediator untuk segera bertindak.
Sampai sekarang, negosiasi dan pembicaraan diplomatik masih berjalan, tetapi belum ada kesepakatan final yang diumumkan secara publik terkait jalur aman atau mekanisme evakuasi bagi pejuang Hamas yang terjebak.
Kesimpulan — Titik Didih Konflik & Upaya Solusi
Permintaan jalur aman dari Hamas mencerminkan situasi memprihatinkan di Gaza: banyak militan yang terkepung di bawah tanah, dalam kondisi yang genting — dan dunia internasional dihadapkan pada dilema antara keamanan dan kemanusiaan.
Jika Israel tetap menolak akses aman — berpotensi berlanjut dengan operasi militer — maka risiko krisis kemanusiaan, tumbangnya korban sipil maupun militer, akan meningkat drastis. Sebaliknya, jika akses aman diberikan — dengan syarat penyerahan senjata — ini bisa menjadi langkah penting bagi gencatan senjata, bagi stabilitas, dan juga bagi proses perdamaian.
Tetapi keputusan seperti itu tak bisa diambil sembarangan. Diperlukan jaminan internasional, pengawasan ketat, serta keterlibatan mediator agar ruang aman benar-benar tersedia — bukan justru menjadi jebakan baru.
Sebagai pembaca di luar zona konflik, kita perlu memantau perkembangan ini dengan seksama: apakah diplomasi dan kemanusiaan bisa menang atas logika militer — atau apakah perang kembali menguat, membawa penderitaan baru bagi rakyat Gaza.

